Senin, 03 Januari 2011

Televisi



Cerpen Idwar Anwar

Dengan penuh rasa dongkol yang mengganjal, televisi yang baru kubeli beberapa minggu lalu, yang masih larut dengan siaran  telenovelanya, kutinggalkan. Beribu kuman-kuman kurasakan hinggap di kepalaku sambil tertawa terbahak-bahak.  Aku begitu muak dengan siaran televisi sore itu.
Betapa tidak, setiap bersantai di sore hari sembari menonton televisi, aku selalu  dikerubungi anak-anak dan  ibu-ibu  yang selalu memaksaku larut dalam kegemaran mereka, telenovela atau jika malam mereka selalu larut dengan tayangan sinetron. Aku selalu digiring  ke  dalam dunia yang begitu  kubenci. Ya, terus terang saja aku tidak senang dengan kedua tayangan yang bagiku memuakkan itu.
Sejak warga desa mengetahui aku pulang dari kota membawa televisi  dan antena parabola, rumahku setiap hari,  baik  siang maupun  malam, selalu saja dipenuhi para tetangga yang ingin menonton telenovela atau sinetron. Maklum di desaku, baru aku dan  kepala desa  yang memiliki televisi dan antena parabola untuk menangkap siaran tv.
Dan  beberapa hari sejak saat itu pula, aku selalu dihantui kuman-kuman telenovela itu. Hari-hari yang kulalui sejak teknolo­gi  informasi  tersebut hadir di rumahku,  begitu  memuakkan. Aku seperti digiring ke dalam dunia yang benar-benar  asing.
Setiap hari aku harus dijejali film-film telenovela yang sangat menyiksa batinku. Dan yang mengherankan, telenovela atau sinetron  ini tidak pernah  habis-habisnya bahkan ada yang sampai berseri. Belum lagi telenovela yang tidak pernah habis-habisnya didatangkan dari Amerika Latin yang    menur­utku sangat  jauh berbeda dengan budaya  kita. Namun, berbagai telenovela dan sinetron yang ditayangkan di televisi itu, semakin banyak digemari warga desa termasuk istri dan anak-anakku.
Ah, entahlah. Yang jelas aku begitu muak dengan siaran tele­visi sore itu. Aku heran mengapa warga desaku begitu doyan dengan film-film seperti itu. Padahal bagiku siaran itu begitu memuakkan dan tak sedikit pun memiliki muatan edukatif utamanya bagi anak-anak. Bagiku semua itu semata-mata hanya film-film komersial.
Dan yang membuatku juga heran, jika kupancing dengan memin­dahkan chanel, mereka ramai-ramai protes. Seolah-olah aku  telah merampas  hak mereka. Dan seolah-olah pula televisi  yang kubeli itu milik mereka atau memang khusus kubeli untuk mereka. Padahal  aku merasa merekalah yang telah merampas hak dan kesenanganku. Dan  istriku  serta anak-anak yang kucintai  pun seakan  sepakat beramai-ramai ikut melakukan hal yang  sama.  Aku bahkan  dipaksa untuk tidak memiliki kesenangan dan pilihan lain kecuali  harus ikut dengan keinginan dan kesukaan mereka;  warga desa, istri, dan anak-anakku.
Sebenarnya, aku tidak mau ambil pusing. Sebab, aku bisa saja menonton berita, acara kegemaranku yang disiarkan di malam hari. Namun, aku merasakan ada yang telah  rusak dari  warga desa, istri utamanya anak-anakku. Aku merasa  kasihan dengan mereka. Mereka telah digerogoti oleh khayalan khayalan yang memuakkan. Anak-anak dan anak-anak tetanggaku pun telah larut dan terkontaminasi dengan segala sesuatu yang sepantasnya tak perlu mereka lihat, dalam usia mereka yang masih bau kencur.
Suatu sore, aku memaksakan diri untuk larut dengan kegemaran mereka. Saat itu rumah panggung yang kubangun 6 tahun lalu yang luasnya hanya  7x6 meter dengan dinding gamaccaq dan berlantai papan dengan model arsitektur Bugis, seperti bioskop. Penuh dan terasa begitu sumpek. Anak-anak, sampai orang tua berjubel menanti penanyangan sebuah telenovela yang ditayangkan di sebuah stasiun tv swasta.
Aku pura-pura larut dalam perbincangkan mereka tentang sosok tokoh dalam telenovela tersebut, baik yang dibenci maupun yang  mereka senangi. Atau melihat mereka yang tidak sempat menyaksikan episode lalu, beramai-ramai bertanya pada orang yang menyaksikannya, agar tidak ketinggalan dan dapat menyambung dengan cerita yang sebentar lagi akan mereka saksikan. Saat itu aku memang ingin masuk ke dalam dunia mereka dengan ikhlas. Dan menyaksikan dengan ikhlas pula dunia yang selama ini begitu kubenci. Aku  ingin merasakan dan menghayati, seperti penghayatan mereka ketika menonton telenovela atau sinetron yang ketika chanel kupindahkan, mereka ramai-ramai protes, seakan-akan aku telah merampas hak mereka. Aku tidak ingin lagi dipaksa dan digiring untuk masuk ke dalam dunia mereka. Aku ingin ikut dan larut dengan ikhlas. Ya, penuh keikhlasan. Semoga. Kulihat istriku nampak sedikit senang menyaksikan keha­diranku di tengah-tengah mereka. Berbaur  dengan tetangga dan bercerita tentang telenovela yang kini telah mulai ditayangkan.
Memang tidak seperti biasa, aku selalu menghindar dan mengeram di kamar ketika mereka sedang asyik menonton telenovela. Tapi beberapa saat setelah berusaha untuk ikut dan larut dengan ikhlas, aku sadar, ternyata aku memang tidak dapat melakukannya. Aku merasa tidak sanggup memaksakan diri untuk ikhlas. Sebab, nuraniku memang tidak menginginkannya.  Hati kecilku telah menyatakan TIDAK.
Namun, aku masih tetap berusaha, meski saat itu yang kurasakan, kepalaku mulai pusing. Mungkin warga desa, istri, anak-anakku merasa aku telah berubah dan tidak lagi memusuhi sesuatu yang mereka sukai. Tapi, aku tak  ambil pusing. Aku memang harus tahu bagaimana rasanya menonton telenovela yang telah membuat warga desa, istri  dan anak-anakku seperti ketagihan. Ya, aku memang harus merasakan-nya. Aku harus merasakan bagaimana dahsyatnya virus ini. Virus yang telah menggerogoti warga desa dan keluargaku.
Perkenalanku dengan  telenovela ini memang tidak terlalu memberikan kenangan manis. Bahkan berakhir dengan kumatnya penya­kit darah tinggi yang kuderita setahun yang lalu. Saat itu, aku memang hanya merasakan kepalaku begitu pusing dan tiba-tiba rasa mual menyerangku. Virus-virus di kepalaku terasa semakin mengger­ogoti.  Bahkan ketika sedang berada di kamar setelah perkenalan perdanaku dengan telenovela, aku jatuh pingsan.
Ketika siuman, kulihat istriku masih nampak kebingungan. Tatapannya seakan menuntutku untuk memberikan penjelasan. Namun, kepalaku masih terasa berat dan pening.
”Bapak kenapa?” tanyanya dengan wajah miris. Aku hanya diam. Mataku kuarahkan ke rambutnya yang panjang terurai dengan warna hitam pekat.
“Dia memang cantik,” gumanku dalam hati. Wanita yang begitu kucintai itu telah memberiku empat orang penerus yang dititipkan Tuhan.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing. Mungkin terlalu capek.”
“Aku buatkan kopi, ya?” Aku hanya mengangguk. Tubuhku masih terasa lemas.
Kurebahkan kembali tubuhku di atas pembaringan. Aku merasa telah membuat dosa besar dengan menjerumuskan warga desa dan istriku ke dalam dunia telenovela, dunia yang seharusnya tak mereka saksikan jika saja aku tak membeli televisi dan antena parabola itu. Dan yang paling kusesali, aku telah menjerumuskan anak-anakku dan anak-anak warga desaku, ke dalam lembah yang paling dalam. Sebuah dunia yang kuanggap hitam bagi generasi muda.
Perasaan bersalah benar-benar merasuki batinku. Namun, aku mencoba untuk tidak menampakkan keresahan itu di depan warga desa, isteri serta anak-anakku. Aku bahkan tetap berusaha untuk selalu bersama mereka, jika sedang menonton telenovela.
Namun tanpa kusadari, kebiasaan ini telah menjeratku ke dalam dunia yang begitu gelap. Hari- hariku terasa begitu menyiksa sejak berusaha ikhlas mengikuti petualangan mereka dengan berbagai tayangan telenovela itu.
Aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku selalu memikirkan anak-anakku yang semakin larut dengan adegan-adegan dalam film itu. Aku selalu memikirkan tetangga dan anak-anaknya yang seakan tidak dapat melepaskan diri dari jeratan film itu dan aku juga memikirkan istriku.
Perasaan bersalah ini semakin menggerogori batinku. Perasaan berdosa terhadap anak-anakku dan anak-anak tetangga semakin mencekik urat-urat leherku. Aku terasa dicekik tatkala menyaksikan mereka selalu asyik dengan godaan-godaan telenovela. Mungkin mereka lebih mengenal Paulina,... dari pada Sultan Hasanuddin, Andi Jemma, Arung Palakka, Pangeran Diponegoro atau beberapa Pahlawan Revolusi. Benar-benar ironis.
Suatu waktu aku sedang menonton bersama anak-anak yang masih ingusan. Saat itu adegan ciman sedang ditayangkan dengan jelas oleh televisi sialan yang kubeli. Iseng-iseng kusaksikan wajah lugu anak-anakku dan anak-anak tetangga. Mereka nampak tersipu. Tak sedikit pun memalingkan wajah, padahal saat itu aku pura-pura mendehem.
Mereka seperti tidak merasa malu menyaksikan adengan itu. Padahal beberapa orang tua berada di sekitar mereka. Tiba-tiba rasanya aku ingin menampar wajahku sendiri. Aku begitu malu melihat anak-anakku dan anak-anak tetangga menyaksi­kan adegan ciuman itu sambil tersipu. Bahkan di mataku, mereka sepertinya sedang membayangkan adegan itu, seolah-olah mereka pernah melakukannya.
”Ah, benar-benar memuakkan! Sangat memalu-kan!” batinku.
Aku bahkan ragu dengan generasi yang kusaksikan ini. Seketika darah yang mengalir ke kepalaku terasa semakin deras menghantam pembuluh-pembuluh darah di otakku. Pandanganku mulai mengabur.
Perla­han kutinggalkan mereka yang masih saja larut dengan mimpi-mimpi di depan televisi brengsek yang kubeli.
”Aku telah merusak mereka. Aku telah merusak mereka. Aku telah merusak warga desa, istriku dan anak-anakku,” jeritku membatin di dalam kamar.
Tiba-tiba tubuhku menggigil. Dan sesaat kemudian, aku tak sadarkan diri. Ketika sadar, kulihat istriku nampak masih panik. Raut wajahnya seperti orang kebingungan. Perlahan ia duduk di sisi pembaringan. Aku mendekapnya begitu erat.
“Maafkan aku. Aku telah menjerumuskan kalian. Aku telah merusak kalian!” Kulihat wajahnya semakin kebingungan. Namun, ia masih saja terdiam. Kulihat anak-anakku satu persatu berdiri di tepi pembar­ingan.
”Bu, aku ingin menjual televisi dan antena parabola itu. Aku telah merusak kalian dan warga desa ini.”
Mendengar maksudku, istri dan anak-anakku tersentak. Mereka dengan begitu sigap dan mata yang melotot, protes. Mereka tidak setuju. Kulihat anakku yang bungsu berlari ke luar rumah. Entah untuk apa.
Kini aku yang kebingungan. Aku tak menyangka mereka akan bersikap seperti itu.
”Tapi aku melihat televisi dan telenovela itu telah merusak kalian dan warga desa ini. Anak-anak kita bahkan  anak-anak  te­tangga tidak pernah lagi belajar, mereka semua asyik menonton. Bahkan tingkah-laku mereka kulihat semakin menyimpang. Aku begitu takut, mereka semua rusak gara-gara telenovela itu. Dan biangnya adalah aku.”
Aku berusaha memberikan berbagai alasan tentang niatku itu. Namun, mereka malah semakin marah. Tiba-tiba aku melihat istri dan anak-anakku seperti dalam adegan telenovela; melawan, membentak-bentak dan mengata-ngatai. Aku semakin terperanjat.
Dan di luar rumah, suara-suara meng­gelegar berseliwerang menghantam gendang telingaku. Tak kusangka, maksudku menjual televisi itu telah tersebar di seluruh desa. Aku tak  percaya. Kulihat hampir seluruh warga desa beramai-ramai menggelar spanduk. Mereka protes terhadap maksudku yang berniat menjual televisi yang kuanggap telah merusak genera­si muda dan warga desa serta keluargaku  sendiri.
Aku  melihat mereka seperti orang-orang yang telah dirampas haknya. Dan pela­kunya adalah aku. Tiba-tiba pandanganku mengabur dan kulihat awan hitam men­yerang kesadaranku. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Di mataku, sebuah serial telenovela yang selalu dinantikan warga desa, istri dan anak-anakku, tertayang di televisi yang kubeli sebulan yang lalu. Dia seakan mengejekku. Seketika itu keben­cianku menggunung. Aku ingin membunuhnya. Ya. Seketika aku ingin menjadi pembunuh.

Makassar, 1 Desember 1999

Catatan:                Gamaccaq = dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau pelepah sagu.

Sebuah Kereta Untuk Bayi



Cerpen Idwar Anwar

Setiap hari kerjamu hanya ongkang-ongkang kaki­ di rumah. Apa tidak bisa  cari kerjaan lain yang bisa menghasilkan uang?” Cerocos istrinya  suatu hari. Tang hanya melongo menyaksikan gerak ritmis bibir istrinya yang mancung. “Indah sekali bibir istriku kalau sedang berkicau seperti itu.” Matanya  menatap penuh birahi. Di sudut bibirnya, selarit guratan senyum terselip.
Melihat suaminya hanya tenang-tenang saja, perempuan itu pun menambah volume suaranya. “Apa tidak ada kerjaan lain? Beras sudah hampir habis. Utang di warung Daeng Tima sudah menumpuk.” Suaranya benar-benar menggelegar menggetarkan dinding-dinding rumah yang terbuat dari gamacca. Bahkan suara itu telah menyusup ke rumah-rumah tetangga, dan mengusik ketentraman gendang telinga mereka di hari yang masih pagi.
Para tetangganya pun hanya melongo sejenak, lalu kembali masuk setelah mereka mendengar bunyi dentingan panci, piring  dan benda-benda lainnya saling bersahutan di antara kicauan bibir istri Tang. Setelah itu mereka kembali meneruskan aktifitas, sembari mengangkat bahu.
Dan seperti biasanya, Tang hanya termangu menatap wajah perempuan itu yang nampak begitu beringas. Sambil tersenyum cengengesan, Tang terus melanjutkan menghirup kopi yang tersedia di atas meja. “Kopi buatanmu nikmat sekali, Nur!” Ia menghirup kopinya dengan mata terpejam. Suara desit begitu jelas terdengar.
Menyaksikan  tingkah suaminya yang seperti tanpa beban itu,  ia pun berlalu dengan  bibir komat-kamit. “Dasar!”  Hanya itu yang sempat terdeteksi di telinga Tang, yang memang sedang berkonsentrasi dengan kopi dan sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya.
Sejak Tang di PHK dari pabrik tempatnya bekerja selama 3 tahun dengan sedikit pesangon, dua bulan yang lalu, hari-harinya kebanyakan hanya dihabiskan di rumah. Selama itu pula, istrinyalah yang membiayai kehidupan keluarga. Setiap pagi, istrinya harus berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan  jasa mencuci pakaian. Dengan cara seperti itulah kebutuhan keluarga mereka sedikit tertutupi. 
Pekerjaan memang begitu sulit dicari. PHK besar-besaran terjadi di mana-mana. Korban  pun berjatuhan.  Dan yang paling merasakan pedihnya PHK adalah buruh-buruh kecil yang diberi pesangon seadanya. Beberapa teman Tang pun mengalami hal serupa. Itulah yang membuat dirinya malas ke luar rumah mencari pekerjaan.
“Ayo, mandi dan keluar! Di luar, kamu bisa melihat atau berpikir, pekerjaan apa yang dapat dikerjakan. Dari pada hanya tinggal di rumah.”
Tang kembali termangu. Ditatapnya wajah perempuan yang setahun lalu dinikahinya itu.  “Kamu semakin cantik kalau sudah mandi.” Mata Tang semakin membesar dan bibirnya menjuntai lebar, seolah sedang menyaksikan pemandangan yang luar biasa.
“Ayo cepat! Jangan merayu seperti itu!” Nur melengos dan berlalu ke dalam kamar. Tang mengikuti langkah istrinya. Setelah sampai di dalam kamar, ia pun dengan sigap menyergap pinggang istrinya dari belakang dan mendekapnya dengan lembut.
Nur mengibaskan tangan suaminya. “Sudah. Sudah. Ayo mandi dan keluar. Siapa tahu di luar nanti kamu bisa mendapat pekerjaan. Atau paling tidak informasi tentang pekerjaan.”
Tangan lelaki itu malah semakin kuat mencengkeram. Bagai kuku-kuku rajawali, ia benar-benar tak ingin melepaskan tubuh istrinya. Hingga handuk  yang melilit di tubuh  Nur, hampir saja terlepas.
“Sudah! Sudah! Aku mau keluar. Siapa tahu banyak yang ingin mencuci pakaiannya. Dan kita bisa memperpanjang kepulan asap di dapur. Beras  sudah hampir kosong.” Ia kembali meraih jamari suaminya dan perlahan melepaskan dari pinggulnya.
“Iya. Iya. Tapi jangan marah-marah terus. Ayo, senyum, sayang. Meski tak ada yang dimakan yang penting senyum.” Tang membalik tubuh Nur, lalu tersenyum. Perempuan itu pun akhirnya tersenyum. Giginya yang besar-besar tersembul. 
“Nah, kalau tersenyum seperti itu, kau nampak cantik sekali.”  Dipeluknya tubuh perempuan yang telah menemaninya selama setahun itu dengan mesra. Mereka pun melayang bersama hembusan angin pagi yang masih menyisakan dingin.

Þ

Sinar pagi semakin menyengat. Nur bergegas ke luar, setelah kembali membersihkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang tadi tak sempat dipakainya. Tubuhnya bergerak gesit di antara angin yang berdesir kencang. Ia langsung menuju ke rumah-rumah langganannya. Sebuah kompleks perumahan yang cukup elit yang tidak terlalu berjauhan dengan tempat tinggalnya. Bertumpuk-tumpuk  pakaian telah menunggu. 
Tang masih terbaring. Tubuhnya lenguh. Diraihnya sarung, yang tadi dikenakannya, dari lantai, lalu dililitkan di pinggangnya sembari melangkah ke luar kamar. Ia kembali terduduk. Di hadapannya segelas kopi yang tinggal setengah masih terhidang. Diraihnya sebatang rokok dan menyulutnya. Dihisapnya perlahan. Begitu khusuk. Hembusan asapnya mengepul memenuhi ruangan. Berkali-kali. Berbatang-batang rokok melayang, menyisakan asap, lalu amblas ke dalam asbak.
Hampir setiap hari, peristiwa itu berlangsung. Dan hampir setiap hari pula, gerak indah  bibir istrinya menghiasi. Orkestra tanpa partitur yang bersumber dari piring, panci atau benda-benda di dapur lainnya mengiringi kicau Nur di pagi hari. Siang atau malam peristiwa itu biasa pula berlangsung.  Namun semuanya sering berakhir ketika Tang melingkarkan tangannya di pinggul istrinya. Yang  tersisa hanya kedamaian.

Þ

Lalu saat senja merah darah. Langkah  gontai Nur menyusuri lorong-lorong terdengar di kejauhan. Keringat di dahinya mengucur deras. Matahari yang memar menyisakan suara-suara serangga malam yang saling bersahutan. Ilalang tertidur, tersapu langkah kakinya yang bergegas meninggalkan gemeresek.
Lampu-lampu di rumah-rumah  penduduk mengerjap-ngerjap di kejauhan. Cahaya bulan temaram menyorot kegelapan yang ditinggalkan matahari. Di tangannya sebuah kantong plastik  menggeresek saat beradu dengan betisnya. Burung-burung yang bergegas pulang melintas di cakrawala.
Matanya menatap di kejauhan. Cahaya lampu di rumahnya mengerjap-ngerjap di antara dedaunan pohon yang  tumbuh di halamannya. Dilihatnya seorang lelaki sedang duduk di beranda. “Pasti suamiku,” pikirnya. Ia pun semakin mempercapat langkahnya. Seperti biasa Tang,  jika kegelapan mulai menggelayut, ia duduk di beranda menanti istrinya.
“Bagaimana rejekimu hari ini?”  Lelaki itu menyambut istrinya dengan senyum.
“Lumayan. Banyak yang ingin dicucikan pakaiannya. Dan ini, saya juga membawa sesuatu. Kebetulan tadi ada orang yang aku cucikan pakaiannya memberikan sedikit makanan.
“Syukurlah. Ayo masuk, kamu pasti lelah sekali. Aku pijat, ya.” Perempuan itu hanya mengangguk dan terus melangkah, saat tangan suaminya melingkar di pinggangnya.
“Bagaimana, kamu sudah dapat pekerjaan. Atau paling tidak informasi tentang pekerjaan?”
Tang seketika tergeragap. Sejenak ia terdiam. “Hari ini aku tidak ke luar rumah.”
“Haa…! Jadi… seharian kamu hanya tinggal nongkrong di rumah!” Matanya terbelalak. Perempuan itu meronta dan berusaha melepas rangkulan tangan suaminya.
“Kamu benar-benar menyebalkan!”  Dilemparkannya kantong plastik yang berada di tangannya dan menghambur ke dalam kamar. Tubuhnya yang tertelungkup di atas ranjang terguncang menahan tangisnya. Isaknya terdengar lirih.
“Sudahlah. Besok aku akan ke luar mencari pekerjaan. Aku janji.” Dibaliknya tubuh istrinya. Lalu ia mencium wajahnya dengan lembut. Ada bau kurang sedap melintas di lubang hidungnya. Tapi ia benar-benar menyayangi perempuan itu, meski mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
“Aku janji, besok aku akan ke luar mencari pekerjaan.” Suara isak masih terdengar dari bibir istrinya. 
“Tapi, kamu selalu berjanji seperti itu. Sudah dua bulan lebih, kamu tidak kerja.” Pandangannya hinggap di wajah Tang. Matanya masih sembab, ”Kehidupan kita semakin terpuruk. Kita tidak bisa terus mengandalkan hasil mencuci pakaian. Sedang uang pesangon dari perusahaan tempatmu bekerja dulu, hanya cukup untuk dipakai selama sebulan. Itupun sudah digunakan dengan  irit.”
Diraihnya kepala perempuan itu dan membelai rambutnya. “Sudahlah! Aku janji!” 
“Uakk. Uakk.” Tiba-tiba perutnya mual dan perempuan itu seketika muntah. Tang yang tak menyangka istrinya akan muntah, tergeragap.  Namun dengan cekatan, ia mengambil ember, lalu memijat-mijat bahu perempuan itu.
“Istirahatlah. Kamu pasti lelah sekali.” Diraihnya segelas air putih dan memberikan pada istrinya. Perempuan itu pun meneguknya perlahan. “Sudahlah. Kamu tidak perlu lagi marah-marah. Setiap hari kamu selalu marah. Kamu pasti capek. Bibirmu juga pasti pegal kalau berkicau terus. Bisa-bisa nanti keseleo.”
Mendengar suaminya  berkata seperti itu dengan mimik serius, tawa perempuan itu pun meledak. Melihat istrinya tertawa, Tang terkejut. Lalu, suara tawa pun menggelegar dari mulutnya.
Di luar, cahaya bulan tak lagi redup. Dedaunan yang memantulkan sinarnya meliuk diterpa angin. Tak sepotong awan pun yang merangkulnya. Namun di dalam sebuah kamar yang sempit, sebuah tangan kekar telah mendekap seorang perempuan.  Tubuh mereka menyatu. Dan  saat itu pula Tang merasa ada sesuatu yang aneh pada tubuh istrinya.

Þ

Tak seperti biasanya, pagi benar-benar indah. Suara kicau bibir Nur tak lagi terdengar. Semuanya telah diganti oleh kicauan burung yang bertengger di dahan pohon depan rumah mereka. Dan orkestra tanpa partitur yang bersumber dari dentingan piring, panci dan barang-barang lainnya, seolah buyar oleh angin pagi yang menyisakan dingin.  Tak ada lagi desah nafas panjang para tetangga serta bahu yang terangkat.
Pagi-pagi sekali, setelah menghirup segelas kopi dan menghabiskan sebatang rokok, Tang bergegas ke luar.  Istrinya dengan wajah cerah mengantar kepergian suaminya. Segunung harapan terpahat di dadanya. Tak lama berselang, setelah membersihkan rumah, ia pun bergegas ke luar menyusuri lorong-lorong dan hinggap di antara tumpukan cucian yang menanti.
Setiap hari perempuan itu melakukannnya, hingga senja merah darah di kaki langit.  Dan cahaya bulan temaram, sesekali hilang dalam bayang-bayang awan. Ia lalu bergegas dengan langkah   gontai menyusuri lorong-lorong. Cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk mengerjap di kejauhan.  Nafasnya terengah, tubuhnya bersimbah keringat. Kelelahan nampak menggelayut di bola matanya.
Gemerusuk dedaunan tertiup angin. Bayangan pohon-pohon rebah, lalu perlahan menghilang. Gemeresik rumput terdengar samar. Langkahnya terus terayun. Dan ketika sampai di depan rumahnya, ia tertegun. Terlebih ketika masuk. Dilihatnya ruangan begitu bersih. Dan di atas meja makan, sebuah hidangan yang selama ini hanya ada dalam angannya, tersaji.
Matanya seketika sembab. Ia begitu terharu membayangkan perjuangan suaminya untuk mendapatkan pekerjaan. Nur pun lantas bergegas ke dalam kamar dan menemukan suaminya sedang tertidur pulas. Dibelainya lelaki pujaannya itu dengan mesra, seakan ingin membuatnya semakin terlelap.
Namun, Tang malah tersentak. Matanya mengerjap-ngerjap. Dilihatnya sosok istrinya duduk di tepi pembaringan. Dengan cepat ia pun mengusap-usap matanya dan bangkit. “Ada apa. Kok kamu menangis?”
Perlahan Tang mendekap istrinya, lalu tangannya yang kekar membelai rambutnya. Di dadanya, wajah perempuan itu berlinang air mata. “Tenang sayang. Jangan bersedih seperti ini.”
“Maafkan aku, jika selama ini selalu memaksamu untuk mencari pekerjaan. Ini untuk kebaikan keluarga kita.”
“Aku tahu. Coba lihat di sebelah sana!”
Matanya segera mengekori arah telunjuk suaminya. Di sudut kamar, sebuah kereta kecil dan beberapa pakaian bayi  tergeletak di atasnya. Nur tersentak. Perlahan ia merabah perutnya. Lalu pandangannya beralih ke wajah suaminya. Seakan tak percaya.
“Hari ini aku dapat perkerjaan. Jadi sopir pribadi seorang direktur sebuah perusahaan besar. Sebelum aku diterima, kami berbicara panjang lebar. Dan tak lupa aku juga menceritakan tentang pekerjaan dan kehamilanmu. Lalu ia memberikan sebuah kereta bayi lengkap dengan baju-bajunya, serta uang. Sebenarnya aku enggan menerimanya, sebab aku belum bekerja apa-apa. Tapi ia memaksaku, hingga akhirnya aku dengan berat hati menerima. Kita  toh memang perlu.”
Perempuan itu hanya terdiam. Bibirnya terkatup. Matanya kembali sembab. Ia menangis. Sebuah kebahagian tiba-tiba membungkus kesadarannya. “Jadi…, apa aku hamil? Kita akan punya anak? Kereta itu...kereta itu untuk bayiku?” Dipeluknya tubuh suaminya begitu erat.
“Ya. Kereta untuk bayi kita.” Tang membalas pelukan perempuan yang begitu dicintainya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Bayangan wanita setengah baya yang dirampoknya siang tadi, terlintas dibenaknya. Ia kembali mendesah. Begitu berat.
“Ah…semoga saja ia tidak mati,”

Makassar, 7-14  April 2001

Catatan : Gamaccaq adalah dinding yang terbuat dari pelepah sagu atau bambu yang dianyam.
                Daeng merupakan panggilan orang yang dihormati dan dituakan dalam masyarakat Bugis-Makassar.

Ruang Sel



Cerpen Idwar Anwar

Masuk…! Bukk….” Sebuah tendangan sepatu lars dengan cepat menghantam punggung Ato. Ia terpental dan menerjang pintu yang sedikit terbuka. Kegelapan menyeruak dari balik pintu yang kini telah terbuka lebar oleh tubuh Ato yang dengan keras menghantamnya.
“Kamu juga masuk! Plak! Plak!” Tamparan tangan sang petugas bolak- balik menghujam pipi Joni. Ia pun hilang di balik pintu yang gelap.
“Kamu. Kamu juga, cepat masuk!” Pukulan dan tendangan bertubi-tubi melaju begitu cepat ke tubuhku dan tubuh Tono yang berada di depanku. Aku sempat menangkis satu tamparan di pipiku, tapi sebuah tendangan yang menghantam bokongku tak dapat kuelakkan. Kami berdua pun terhuyung menerjang pintu yang kini terbuka lebar.
“Silahkan masuk!”. Dalam keremangan aku melihat orang yang menyambut kami, dengan sedikit membelalakkan mata. Kepalanya botak. Tubuhnya sedikit lebih kecil dibanding tubuhku yang tinggi dan besar.
“Mungkin dia algojo di sini,” pikirku.
“Brak!” Pintu sel tertutup. Dan kegelapan dengan cepat merambat. Bau pesing yang kucium sejak masuk ruangan, mulai ganas menusuk hidungku.
“Iwan, ayo duduk.” Suara Ato terdengar menggema dalam ruangan. Mataku masih beradaptasi dalam kegelapan. Cukup lama. Samar-samar aku mulai melihat bayangan beberapa orang duduk di atas dipan. Ada enam orang.  Seorang  lainya masih berdiri sedikit menjauh dari tempatku berdiri. Aku belum bisa mengenali wajah mereka.
Perlahan aku melangkah. Bau pesing semakin menyengat hidungku. Ruang sel begitu pengap. Tak ada ventilasi udara. Hanya ada satu lubang di pintu yang lebarnya sekitar 2 cm dan panjang kira-kira 15 cm. Memang hanya diperuntukkan bagi sepasang bola mata. Dari situlah sumber cahaya satu-satunya yang menerangi ruang sel. Dinding dan lantai terasa dingin.  Dalam ruang sel  malam dan siang seperti  berlalu tanpa perbedaan. Gelap dan pengap. Langit-langit sel laksana ribuan kelelawar yang menggantung diam.
Suasana hening. Orang yang sejak tadi berdiri perlahan duduk. Aku masih tetap berdiri. Pandanganku mengembara dalam ruang sel yang kini menenggelamkan tubuh kami dalam kegelapan dan kepengapan. Ruang sel yang mengurung kami begitu sempit bagi delapan tubuh yang terkungkung di dalamnya.
Mataku yang sudah mulai beradaptasi dengan kegelapan terus mengembara. Perlahan aku menyandarkan tubuh di dinding. Dingin. Dan saat tubuhku mencecah permukaannya, seketika itu pula catnya luruh ke lantai bersama semen yang bercampur pasir. Suara dentumannya terdengar jelas menggema dalam ruangan. 
“Bangunan ini sudah sangat tua, mungkin peninggalan Belanda atau Jepang,” pikirku.
Kupandang orang-orang di depanku.  Lalu, perlahan melangkah dan duduk di atas dipan yang tingginya kurang lebih 10 cm dari permukaan lantai dengan luas kurang lebih dua kali dua meter.
“Kenapa kamu diam saja, Wan?” Ato perlahan menggeser duduknya mendekatiku. Sedang Joni dan Tono kulihat mulai berkenalan dengan penghuni sel yang lebih dulu masuk.
“Tidak, aku tidak apa-apa.” Aku lalu beranjak dan bergabung dengan yang lain. Kami pun berkenalan dan saling bercerita tentang hal-hal yang membuat kami masing-masing harus meringkuk di ruang sel.
Orang yang tadi kukira algojo dalam sel yang kutempati bernama  Roni. Ia  masuk dalam sel karena telah memperkosa seorang gadis yang masih duduk di kelas tiga SMP. Sebelumnya, karena tidak mau mengaku, petugas lalu menyetrum kemaluannya dan membakar bulunya sampai benar-benar gundul. Bahkan kemaluannya disulut api rokok petugas. Tubuhnya penuh bekas luka akibat serangan berbagai macam benda dari petugas. Usianya kira-kira 28 tahun, hampir sebaya denganku.
Lain lagi dengan Aco. Ia masuk sel karena menjambret seorang wanita tua di pasar. Waktu pertama masuk, menurutnya, tubuhnya  penuh dengan luka memar, berdarah dan juga tulangnya seperti remuk. Tubuhnya lebih kecil dibanding Roni dengan rambut yang juga botak. Kasusnya belum disidangkan sama seperti kasus Roni. Ia telah mendekam di sel hampir dua bulan, hanya tiga hari lebih cepat dari Roni.
Kasus Udin persis dengan  Rio, yang membuatnya juga terkurung dalam ruang sel yang pengap dan gelap. Nasibnya pun hampir sama ketika ditangkap dan dijebloskan dalam sel. Remuk, lebam., dan berdarah. Keduanya ingin mencuri ayam. Namun naas, sebab ketika keduanya hendak keluar kandang dengan beberapa ekor ayam, pemiliknya memergoki. Dan ia pun berteriak sekencang-kencangnya hingga penduduk berkerumun dengan cepat.
Keduanya tak sempat lari bahkan melawan, ketika massa dengan segala caci-maki, hinaan, disertai pukulan dengan berbagai macam   cara dan alat, menerjang tubuh keduanya begitu beringas. Namun untung petugas datang disaat kritis. Mereka pun diangkut ke kantor polisi dalam kondisi babak belur.
Di kantor polisi ternyata mereka masih mendapat tambahan jatah pukulan dan tendangan serta siksaan lainnya. Tiba-tiba saja aku teringat tendangan dan pukulan serta tamparan yang mungkin termasuk jatah kami saat masuk tadi.
Di antara perkenalan yang layaknya seperti di alam bebas, senda gurau dan tawa berderai tanpa kendali. Terlebih saat bercerita tentang si Roni yang kalau tidur, katanya seperti orang yang sedang mengunyah tulang. 
“Brak. Jangan  ribut! Ini ruang sel, bukan rumahmu. Brak.” Seketika hening. Kami saling menatap dan sekuat tenaga menahan tawa.
Perlahan aku berdiri dan melangkah menuju pintu. Melalui lubang kecil di pintu, aku mengintip ke luar. Angin kencang seketika menerpa kedua bola mataku. Di luar kulihat jam dinding yang menempel di atas pintu masuk yang tanpa pintu.
“Pukul 20.15 malam. Kurang lebih 15 menit aku berada dalam ruang sialan ini”, gerutuku membatin. Hembusan angin malam makin gencar menerpa kedua bola mataku. Kelopak mataku beberapa kali mengerjap untuk melindungi terpaan angin yang terasa memerihkan bola mataku.
Kulihat dua orang petugas sedang mengetik. Di sudut ruangan 4 orang sedang asyik bermain domino. Sedang dua orang lainnya sedang asyik bercerita di pos jaga. Kubalikkan badanku dan bersandar di pintu. Kutarik nafas begitu berat dan berusaha menghembuskannya perlahan. Tapi tak bisa. Seperti ada yang mengganjal keras dalam rongga dadaku.
“Kapan aku akan keluar dari ruang brengsek ini? Kapan mereka datang membebaskan kami?” Sambil memejamkan mata, kembali kutarik nafas perlahan.
“Mungkin banyak orang yang mati.”  Aku tersentak. Bayangan gedung yang meledak serta jeritan orang-orang yang berada di dalamnya kembali terlintas. Aku melihat beberapa orang di luar gedung terkapar bersimbah darah. Mungkin banyak yang mati. Entahlah.  Aku hanya sempat melihatnya sekilas dan berlalu.
“Akhhhh….”
Dalam ruangan sel, angin seperti mati. Dan bau pesing terus memburu lubang hidungku begitu garang. Sepertinya tak satu milipun dalam ruangan sel yang tidak terserang aroma pesing.
Dengan sempoyongan kulangkahkan kaki dan kembali duduk di atas dipan. Pandanganku membentur lantai. Gelap, tak ada satu pun yang tertangkap oleh mataku. Semuanya sama; hitam.
Kusentuh permukaannya dengan tanganku. Dingin. Lantai yang terbuat dari semen itu telah tertutupi tanah yang cukup tebal.
“Tenang, Wan, Jangan gundah seperti itu. Mereka pasti akan datang untuk mengeluarkan kita  dari ruang sel sialan ini. Tunggu saja sebentar lagi kita pasti keluar.” Joni mendekatiku  dan merangkul pundakku.
“Tapi kita sudah cukup lama dalam ruangan brengsek ini.”
 “Iya. Sabarlah, sebentar lagi kita pasti akan keluar.” Ato dan Tono menimpali hampir bersamaan.
“Iya, kalian enak. Punya banyak kenalan pejabat serta pengusaha yang kaya. Jadi kalian bisa dengan cepat dibebaskan. Sedang kami orang miskin. Bagaimana bisa berkenalan dengan pejabat atau pengusaha kaya.” Roni tiba-tiba nyeletuk dari belakang.
“Betul! Kami sebenarnya juga sudah tidak betah tinggal di sini. Tiap hari harus menjadi santapan kepalan tangan dan lars petugas. Belum lagi pentungan atau popor senapan atau pistol,” sambung Aco.
“Betul. Betul . Apalagi kami berdua. Benar nggak, Din?” Rio menimpali dan wajahnya dengan cepat dipalingkan ke arah Udin. Udin hanya mengangguk.
“Kami hanya mencuri ayam. Itupun tidak berhasil karena keburu ketahuan yang punya rumah. Dan syukur di gelandang ke kantor polisi, sebab masyarakat seperti begitu buas ingin memangsa kami. Padahal itu kami lakukan hanya untuk perut kami sekeluarga.” Suara Rio semakin meninggi.
“Persis! Kamu betul!” timpalku. “Itu berarti kamu mempertahankan keberadaan kelompok kamu. Sama. Kami juga masuk dalam sel brengsek ini karena mempertahankan harga diri kelompok kami. Kami tak ingin diinjak-injak oleh kelompok lain, apapun taruhannya. Aku kira kelompok yang lain pun sependapat denganku. Bukan hanya geng-geng remaja. Kelompok-kelompok politik atau kelompok apapun namanya, pasti sependapat denganku,”  ucapku begitu bersemangat.
“Hanya bedanya, kalian mempertahankan dari kelaparan untuk tetap hidup. Sedang kami mempertahankan demi harga diri kami dan kelompok kami.”  Aku  kembali berdiri.
“Kalian bisa lihat, banyak orang yang rela mati demi kelompoknya. Atau  sebaliknya  banyak kelompok yang melakukan gerakan demi menjaga kewibawaan orang yang dianggap simbol kelompoknya. Atau     paling tidak sebagai simbol solidaritas, meski  mungkin itu buta. Terlebih lagi jika kelompok atau orang yang dibela memberikan banyak keuntungan material.”
“Yang jelas kalian sebentar lagi akan keluar. Sedang kami mesti tinggal lama di tempat ini.  Belum jelas kapan kami akan keluar. Di sini untuk buang air kecil, kami dilarang keluar. Bahkan untuk buang air besar pun kami selalu dipersulit,” suara Roni menyambar dengan cepat.
“Buk. Buk! Hai…Jangan ribut!.” Suara pintu yang ditendang menggema dalam ruang sel. Pintu perlahan terbuka. Seorang petugas berdiri tepat di depan pintu ruang sel.
“Tomi, Ato, Tono, Joni. Keluar!.  Kalian bebas. Kalian ditunggu di ruang Kepala,” perintah sang petugas. Ato, Tono, dan Joni perlahan menuju pintu. Aku masih terdiam.
“Pak, kapan kami keluar?” tanya Rio setengah teriak.
“Nanti, masih diproses!” jawab petugas sekenanya.
Aku mendekati Rio, Aco, Udin, dan Roni sambil berkata sedikit berbisik, “Maaf kawan, kami duluan. Nanti kalian meyusul.”
“Betul?” ucap keempatnya hampir bersamaan.
“Selamat tinggal.” Kulangkahkan kaki begitu ringan.

Þ

Segelas kopi terhidang di atas meja. Di halaman belakang, di samping kolam renang, sebuah kursi panjang melintang menghadap ke kolam. Pagi yang begitu indah. Burung-burung berkicau. Embun pagi belum lagi hilang. 
Aku duduk dan segera meraih surat kabar pagi yang tergeletak di atas meja.  Di halaman depan, judul berita terpampang dengan huruf besar, Empat Orang Narapidana Bunuh Diri di Ruang Selnya.             
Kutarik nafas dalam-dalam. “Kalian memang tidak pantas mendengarnya.”
Kulihat Joni melangkah dengan cepat ke arahku.
“Sudah baca koran hari ini.”
“Sudah.” 
“Bagaimana rencana selanjutnya?”
“Berdasarkan perintah, kita harus lebih hati-hati lagi. Gerakan kita akan terus berjalan sesuai rencana. Jangan sampai tinggalkan jejak.”
“Kalau begitu, kita kumpulkan kembali teman-teman.”

Palopo-Makassar,28 Des. 2000- 23 April 2001